MAKALAH
PEMIKIRAN FILSAFAT AL – KINDI
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah
Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Dr. Afiful Ikwan, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Muhammad Tegar Khusyairi Hansyah 17112125
Fakultas Agama Islam
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenaiHakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[1]Dalam
kehidupan sangat perlu dengan adanya filsafat, Sedangkan filsafat islam itu
sendiri merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta,
etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di
dalam dunia Islam atau peradaban umat Muslim dan hubungan dengan ajaran –
ajaran Islam.[2]
Sehingga kajian yang dilakukan secara sistematis membahas mengenai kehidupan
dan semua yang berhubungan dengan ajaran islam di muka bumi ini agar manusia
tau tentang filsafat islam itu sendiri.
Tokoh
yang disebut sebagai filosof muslim ketika filsafat islam dibicarakan, maka
yang terbayang dalam pemahaman kita adalah Al – Kindi, Ibnu sina, Al - Farabi,
Ibnu Rusyd, Al – Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh itu memang tidak
bisa dihindarkan dari pemikiran kita, tidak saja dari merekalah kita dapat
mengenal filsafat islam, akan tetapi dari merekalah benih – benih filsafat
islam dikembangkan. Penulis tidak akan membahas semua tokoh yang disebutkan di
atas tetapi salah satu filosof muslim yang bernama, Al – Kindi.
Al-Falsafah
al-Ula adalah judul buku filsafat yang ditulis dan dipersembahkan al- Kindi
untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842 M)dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M);
sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafsikanya yang didasarkan atas
konsep-konsep filsafat Aristoteles (384–322 SM)[3].
Pemikiran metafisika al-Kindi, menurut George N Atiyeh (1923-2008
M),diinspirasikan dari gagasan Aristoteles tentang Kebenaran Pertama, tidak
didasarkan atas ide-ide Plotinus (204–270 M)sebagaimana kebanyakan filosof
muslim sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan
sebab dari semua kebenaran. Karena itu, al-Kindi mengambarkan metafisika
sebagai pengetahuan yang paling mulia, karena subjek kajiannya adalah sesuatu
yang paling mulia dari semua realitas. Berdasarkan hal ini, al-Kindi kemudian
mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiyah
yang dalam konsep Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak.
Namun, cakupan kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being
qua being) sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles melainkan terbatas hanya
pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan hubungan-Nya dengan
alam ciptaan.[4]
Artinya, al-Kindi mengikuti Aristoteles tetapi tidak sama dengan gurunya, dan di
sinilah orisinalitas al-Kindi.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapa Biografi Al – Kindi?
2. Bagaimana Penyelarasan dan Filsafat?
3. Bagaimana Creatio Ex Nihilo?
4. Bagaimana
Dalil Adanya Tuhan?
5. Bagaimana
Sifat-Sifat Tuhan?
C. Tujuan
1. Untuk menegetahui Biografi Al – Kindi
2. Untuk mengetahui Penyelarasan dan
Filsafat
3. Untuk mengetahui Creatio Ex Nihilo
4. Untuk mengetahui Dalil Adanya Tuhan
5. Untuk Mengetahui Sifat – sifat Tuhan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Al - Kindi
Al-Kindi,
alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail
al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah, Iraq. sekarang, tahun 801 M, pada
masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M).[5]
Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah
satu suku besar zaman pra-Islam. Menurut Faud Ahwani, al-Kindi lahir dari
keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail al-Ash`ats ibn Qais, buyutnya,
telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi shahabat Rasul. Mereka kemudian
pindah ke Kufah. Di Kufah sendiri, ayah al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat
sebagai Gubernur, pada masa khalifah al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-876 M)
dan Harun al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).[6]
Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat itu,
yaitu al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqh dan teologi.Yang
perlu dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam,
di samping Basrah, dan Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).[7]
Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring al-Kindi untuk
memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.Al-Kindi
kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini al-Kindi
mencurahkan perhatiannya untuk menterjemah dan mengkaji filsafat serta
pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Menurut al-Qifthi
(1171-1248 M), al-Kindi banyak menterjemahkan buku filsafat, menjelaskan
hal-hal yang pelik dan meringkaskan secara canggih teori-teorinya. Hal itu
dapat dilakukan karena al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani
dan Syiria, bahasa induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu
juga, al-Kindi mampu memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya
hasil terjemahan Ibn Na`ima al-Himsi, seorang penterjemah Kristen, atas
bukuEnneadskarya Plotinus (204-270 M); buku Enneadsinilah yang dikalangan
pemikir Arab kemudian disalahpahami sebagai buku Theologi karya Aristoteles
(348-322 SM).[8]
Berkat
kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, al-Kindi kemudian
bertemu dan berteman baik dengan khalifah al-Makmun (813-833 M), seorang
khalifah dari Bani Abbas yang sangat gandrung pemikiran rasional dan filsafat.
Lebih dari itu, ia diangkat sebagai penasehat dan guru istana pada masa
khalifah al-Muktashim (833-842 M) dan al-Watsiq (842-847 M). Posisi dan jabatan
tersebut bahkan masih tetap dipegangnya pada awal kekuasaan khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M), sebelum akhirnya ia dipecat karena hasutan
orang-orang tertentu yang tidak suka dan iri atas prestasi-prestasi akademik
yang dicapainya.[9] Sikap
iri dan permusuhan dari kalangan tertentu seperti inilah yang tampaknya juga
telah memunculkan informasi-informasi negative tentang watak dan sifat
al-Kindi. Misalnya, al-Kindi ditampilkan sebagai sarjana yang mempunyai sifat
pelit dan kikir. Sifatnya ini bahkan ditonjolkan sebanding dengan tingkat
popularitas dan prestasi keilmuannya. Namun, George N Atiyeh (1923-2008 M)
meragukan kebenaran informasi tersebut. Sebab, menurutnya, para pengkritiknya
juga tidak dapat melakukan hal lain kecuali memuji prestasi-prestasi akademik
dan filsafatnya. Selain itu, beberapa informasi lain justru menyatakan sebaliknya,
yaitu bahwa al-Kindi mempunyai watak yang mulia, berperilaku sebagai orang yang
bermartabat, penuh dedikasi dan tulus.[10]
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M. Menurut Atiyeh, al-Kindi meninggal
dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa orang
terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak lagi
disukai, tetapi juga sekaligus kematian seorang filosof besar yang menyukai
kesunyian.[11] Al-Kindi
meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah karya tulis yang teridentifikasi,
yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok: (1) filsafat, (2) logika, (3) ilmu
hitung, (4) globular, (5) music, (6) astronomi, (7) geometri, (8) sperikal, (9)
medis, (10) astrologi, (11) dialektika, (12) psikologi, (13) politik, (14)
meteorology, (15) besaran, (16) ramalan, (17) logam dan kimia.[12]
Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan pengetahuan
al-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerard (1114–1187M), tokoh
dariCremona, Italia,kedalam bahasa Latin dan memberi pengaruh besar pada
pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena itu, Gerolamo Cardano (1501-1576
M), seorang tokoh matematika asal Italia, menilai al-Kindi sebagai salah satu
dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal di Eropa saat itu.[13]
B. Menyelaraskan Agama & Filsafat
Al-Kindi
hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran
Islam, tepatnya masa transisi dari teologi tradisional kepada filsafat.
Al-Kindi-lah justru orang Arab pertama yang mengenalkan filsafat ke dalam
pemikiran Arab, sehingga diberi gelar “Filosof Bangsa Arab”. Menurut Atiyeh
(1923-2008 M), dalam kondisi seperti ini setidaknya ada 2 kesulitan yang
dihadapi al-Kindi. Pertama, kesulitan untuk menyampaikan gagasan-gagasan
filosofis ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk
menyampaikan ide-ide abstrak. Kedua, adanya tantangan atau serangan yang
dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat; filsafat dan filosof
dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran.[14]
Untuk
mengatasi kesulitan pertama, al-Kindi melakukan beberapa hal: (1)
menterjemahkan secara langsung sesuai gramatika istilah-istilah Yunani ke dalam
bahasa Arab, seperti kata hylediterjemahkan dengan thîn (tanah liat). (2) mengambil alih istilah-istilah Yunani
kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab murni, seperti
failusûf untuk istilah Yunani
philosophos (filosof), falsafahuntuk istilah philosophia (filsafat),
fanthasiyahuntuk istilah phantasia(fantasi). (3) menciptakan kata-kata atau
istilah baru dengan cara mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah di
belakangnya, untuk membuat atau menjelaskan abstraksi-abstraksi yang sulit
dinyatakan dalam bahasa Arab. Misalnya, al-mâhiyah dari kata mâ huwa (apakah
itu?) untuk menjelaskan istilah Yunani to ti esti (esensi); al-huwiyahdari kata
ganti huwa(dia) untuk menjelaskan istilah Yunani to on (substansi). (4)
memberikan makna baru pada istilah-istilah lama yang sudah dikenal.[15]
Untuk
menghadapi tantangan kedua, al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan
antara agama dan filsafat. Upaya untuk menyelaraskan agama dan filsafat ini
sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama,
membuat kisah-kisah atau riwayat yang menunjukkan bahwa bangsa Arab dan Yunani
adalah bersaudara, sehingga tidak patut untuk saling bermusuhan. Dalam kisah
ini, misalnya, ditampilkan bahwa Yunan (personifikasi dari nama negeri Yunani)
adalah saudara Qathan, nenek moyang bangsa Arab. Dengan demikian, bangsa Yunani
dan Arab berarti adalah saudara sepupu, sehingga mereka mestinyadapat saling
melengkapi dan mencari kebenaran bersama meski masing-masing menggunakan
jalannya sendiri-sendiri.[16]
Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah
kebenaran yang bisa datang dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan
untuk mengakui dan mengambilnya. Dalam al-Falsafah al-Ulâ, secara jelas
al-Kindi menulis,
“Kita
hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran
dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa
asing. Bagi para pencari
kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri.
Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat
sang pencari kebenaran, melainkan justru
menjadikannya terhormat dan mulia”.[17]
Pernyataan
al-Kindi tersebut, sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Imam Ali ibn Abi
Thalib (599-661 M), khalifah al-rasyidin yang keempat (656-661 M). Imam Ali menyatakan
bahwa al-hikmah(pengetahuan atau kebenaran) adalah milik umat Islam yang
tercerer, karena itu ia harus diambil di manapun ditemukan (al-hikmah dlâlah
al-mu’minîn khudzû ainamâ wajadtumûhâ).
Ketiga, menyatakan bahwa filsafat adalah
suatu kebutuhan, sebagai sarana dan proses berpikir, bukan sesuatu yang aneh
atau kemewahan. Al-Kindi senantiasa menekankan masalah ini terhadap orang-orang
yang fanatik agama dan menentang kegiatan filosofis. Al-Kindi, dengan metode
dialektika, mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Filsafat itu perlu atau tidak
perlu?”. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan dan argumen untuk
membuktikannya; begitu juga jika menyatakan tidak perlu. Padahal, dengan
menyampaikan alasan dan argument tersebut, mereka berarti telah masuk dalam
kegiatan filosofis dan berfilsafat. Artinya, filsafat adalah sesuatu yang
sangat penting dan tidak dapat dihindari, karena sebagai sarana dan proses
berpikir.
“Jika
para penentang filsafat menyatakan bahwa filsafat adalah perlu, maka mereka harus mempelajarinya. Sebaliknya, jika mereka
menyatakan
tidak perlu, mereka harus memberikan argument untuk itu dan menjelaskannya. Padahal,
pemberian argument dan penjelasan adalah bagian dari proses
berpikir filosofis”.[18]
Selain
itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan model ketiga ini, al-Kindi ingin
menunjukkan bahwa para filosof dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud untuk
merongrong wahyu dan agama; sebaliknya, justru memberi dukungan pada agama
dengan argument-argumen yang rasional dan kokoh.[19]
Secara
historis, argumentasi tentang pentingnya filsafat seperti yang digunakan oleh
al-Kindi tersebut bukanlah sesuatu yang baru atau yang pertama. Menurut
sejarah, Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan argumen
seperti itu untuk membela dan mendukung filsafat. Selanjutnya, digunakan oleh
Markus Tullius Cicero (106-43 SM) dari Italia, kemudian Titus Flavius Clemens
(150-215 M) dari Alexandria.[20]
Dalam Islam, setelah al-Kindi (801-873 M), argument seperti ini kemudian digunakan
oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh filsafat Aristotelian asal Andalus
(Spanyol).[21]
Keempat, menyatakan bahwa meski metode
agama dan filsafat berbeda tetapi tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah
sama, baik dalam tujuan praktis maupun teoritisnya. Tujuan praktis agama dan
filsafat adalah mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih
tinggi, sedang tujuan teoritisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran
tertinggi, Tuhan. Karena itu, menurut al-Kindi, tidak ada perbedaan yang
esensial antara agama dan filsafat, karena keduanya mengarah kepada tujuan yang
sama.[22]
Persoalannya, jika benar bahwa agama
dan filsafat mengarah pada tujuanyang sama, apakah hal itu berarti filsafat
setaraf dengan agama? Dalam konteks pengetahuan, apakah pengetahuan rasional
yang didasarkan atas akal dan filsafat Setara dengan pengetahuan agama yang
didasarkan atas wahyu?
Menurut Atiyeh (1923-2008 M), al-Kindi tampak
tidak konsisten dalam menjawab persoalan tersebut. Pada satu tulisannya ia
mempertahankan kepastian yang sama dan sederajat antara pengetahuan rasional
filsafat dan pengetahuan kenabian; dalam tulisan lainnya memasukkan pengetahuan
kenabian ke dalam pengetahuan rasional, tetapi dalam tulisan lainnya lagi
justru menempatkan pengetahuan rasional filsafat di bawah pengetahuan kenabian.[23]
Menurut
penulis sendiri, sikap tidak konsisten yang ditunjukkan al-Kindi di atas,
sesungguhnya, dikarenakan adanya kehati-hatiannya dalam menghadapi persoalan
yang sensitive ini. Persoalan agama dan filsafat adalah dua hal yang sangat
sensitive saat itu, bahkan sampai sekarang. Namun, al-Kindi tampak lebih
cenderung untuk menempatkan pengetahuan rasional filosofis di bawah pengetahuan
kenabian atau ilmu-ilmu keagamaan. Dalam Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ
Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah (Jumlah
Karya Aristoteles), al-Kindi menulis sebagai berikut:
“Jika
seseorang tidak memiliki ilmupasti (ilm al-kammiyah) dan ilmu penalaran (ilm al-kaifiyah),
maka ia tidak akan mendapatkan
ilmu filosofis, yaitu pengetahuan insani (al-ulûm al-insâniyah) yang diperoleh
lewat riset, upaya dan ketekunan; sebuah
pengetahuan yang berada di bawah ilmu ilahiyah (al- ilm al-ilahy) yang
diperoleh tanpa riset, upaya, ketekunan dan waktu, seperti
pengetahuan para rasul yang diberikan secara langsung oleh Tuhan”.[24]
Dengan
konsep bahwa pengetahuan rasional filsafat di bawah ilmu-ilmu keagamaan, maka
al-Kindi mendapat dua keuntungan sekaligus: (1) ia tetap dapat menjaga dan
mempertahankan filsafat dari serangan pihak-pihak yang tidak menyukainya; (2)
dapat meredam kemarahan atau serangan kaum agamawan yang mayoritas. Pemikiran
ini, pada masa berikutnya diikuti oleh al-Farabi (870-950 M). Menurutnya, agama
dan filsafat adalah berasal dari sumber yang sama dan satu, sehingga posisi
seorang filosof sesungguhnya juga tidak berbeda dengan seorang nabi; sama-sama
menerima limpahan pengetahuan dari Intelek aktif (al-aql al-fa`âl) sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Konsekuensinya, pengetahuan filosofis adalah
sama posisinya dan sederajat dengan ilmu keagamaan. Akan tetapi, al-Farabi
kemudian “meredam” kemungkinan gejolak dari persoalan tersebut dengan
menyatakan bahwakualitas diri filosof tidak sama dan tidak sebaik kualitas diri
seorang Nabi, sehingga hasil pengetahuan rasional filosofis yang dihasilkan
juga tidak setara dengan pengetahuan agama yang diterima oleh seorang Nabi.[25]
Kelima, memfilsafatkan ajaran dan
pemahaman agama sehingga selaras dengan pemikiran filosofis. Al-Kindi melakukan
upaya ini dengan cara memberikan makna alegoris (takwîl) terhadap teks-teks
atau nash yang secara tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran
rasional-filosofis. Misalnya, ketika dia diminta oleh Ahmad, putra khalifah al-Muktashim
(833-842 M), untuk menjelaskan makna ayat “Bintang-bintang dan pepohonan sujud
kepada-Nya”, QS. Al-Rahman, 6. Kata “sujud” mengandung beberapa arti: (1) sujud
dalam shalat, (2) kepatuhan atau ketaatan, (3) perubahan dari ketidaksempurnaan
kepada kesempurnaan, dan (4) mengikuti aturan secara ihlas. Makna yang terakhir
inilah yang digunakan al-Kindi untuk menjelaskan ayat di atas, sehingga sujud
bintang-bintang dan pepohonan adalah dengan cara mematuhi perintah Tuhan, bukan
sujud seperti dalam shalat.[26]
Menurut
al-Kindi, apapun yang disampaikan Rasul dari Tuhan adalah benar adanya dan
dapat diterima oleh nalar, sehingga tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Pertentangan yang muncul antara kata-kata al-Qur’an dengan pemahaman filosofis,
sesungguhnya, adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam
memahami makna al-Qur’an. Secara jelas al-Kindi menulis,
“Semua
ucapan Nabi Muhammad saw adalah benar adanya dan apa yang disampaikannnya
dari wahyu Tuhan adalah dapat diterima dan ditentukan dengan
argument-argumen rasional filosofis. Hanya orang yang kehilangan akal sehat dan dipenuhi kebodohan
yang menolaknya”.[27]
Menurut
Atiyeh, metode takwîlini secara historis telah digunakan oleh tokoh-tokoh
filsafat aliran Stoik, sebuah sekolah filsafathelenistik yang berusaha
memadukan antara problem determinisme kosmik dengan kebebasan manusia,
didirikan di Athena oleh Zeno (334-262 SM) dari Citium, Yunani; Philo Judaeus
(20SM-50 M) dari Alexandria, seorang tokoh teolog Yahudi yang berusaha
mempertemukan antara filsafat dan ajaran Yahudi; dan Muktazilah, sebuah aliran
teologi rasional dalam Islam yang dibangun oleh Washil ibn Atha’ (700-748 M).
Akan tetapi, tafsir alegoris al-Kindi didasarkan atas prinsip-prinsip
linguistic dan
tata bahasa, sehingga berbeda dengan
medel penafsiran kaum Stoik sebelumnya. Model tafsir al-Kindi ini lebih dekat
dengan retorika teologi Muktazilah daripada filsafat. Pada fase-fase
berikutnya, dalam sejarah filsafat Islam, penyelesaian dengan takwil ketika
terjadi perbedaan antara teks agama dan pemahaman filsafat ini diikuti oleh Ibn
Rusyd (1126-1198 M).[28]
C. Creatio Ex Nihilo
Teori
penciptaan semesta mempunyai sejarah yang panjang dalam pemikiran manusia.
Menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filosof Yunani secara keseluruhan; mulai
Plato (428-347 SM), Aristoteles (384–322 SM)sampai Plotinus (204–270 M),
berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa yang
disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang
ada sebelumnya (creatio ex materia), baik lewat gerakan atauemanasi. Artinya,
dalam pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna yang
sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau
pewujud realitas, dari alam potensialitas kepada alam aktualitas.
Konsekuensinya, alam menjadi qadîm, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau
emanasi Tuhan adalah qadîm, tidak terbatas dan abadi; suatu teori penciptaan
yang tidak dapat diterima oleh kaum teolog muslim manapun.[29]
Al-Kindi
juga menolak teori tersebut dan sebagai gantinya memunculkan gagasan bahwa alam
tercipta dari yang tiada (creation ex nihilo), sebagaimana yang diyakini dalam
teologi Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan tercipta dari
yang tiada. Namun, argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis melainkan
filosofis, dan itu didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles sendiri.
Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindi: (1) bahwa sesuatu
yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam
bentuk yang aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara serentak,
bersamaan. Dua prinsip ini oleh al-Kindi kemudian dikembangkan menjadi 9
pernyataan:
1. Dua
besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya,
berarti adalah sama.
2. Jika
satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut,
maka keduanya menjadi tidak sama.
3. Jika
sebuah besaran dikurangi, maka sisanya adalah lebih kecil dari besaran semula.
4. Jika
suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya tersebut dikembalikan
lagi, maka hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya.
5. Besaran
yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga
sebaliknya
6. Jumlah
dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas, adalah terbatas.
7. Besaran
alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas.
8. Dua
besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih kecil
daripada lainnya.
9. Apa
yang dimaksud sebagai lebih besar adalah dalam hubungannya dengan bagian yang
lebih kecil, dan yang disebut sebagai lebih kecil adalah dalam hubungannya dengan yang lebih
besar.[30]
Berdasarkan
atas dua prinsip dan 9 pernyataan di atas, al-Kindi kemudian membuktikan kebenaran pandangannya.
Pertama, jika kita menyatakan bahwa semesta ini tidak terbatas, maka kita juga
harus menyatakan bahwa wujud aktual dari semesta ini juga tidak terbatas.
Namun, ini bertentangan dengan prinsip pertama Aristoteles yang menyatakan
bahwa wujud actual adalah terbatas. Kedua, jika wujud semesta yang diasumsikan
tidak terbatas ini kita ambil sebagiannya, maka sisanya dapat berupa wujud
tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau menjadi wujud terbatas. Namun,
jika dikatakan tidak terbatas, maka berarti ada dua hal yang sama-
sama tidak terbatas, dan itu
mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah sama dengan bagiannya dan itu tidak
masuk akal; jika dikatakan menjadi wujud terbatas, maka hal itu bertentangan
dengan pernyataan bahwa yang tidak terbatas tidak mungkin melahirkan yang
terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita dikembalikan lagi,
maka hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini
mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar
dari dari sesuatu yang tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak
masuk akal.[31]
Berdasarkan
kontradiksi-kontradiksi logis tersebut, maka menurut al-Kindi, semesta yang ada
dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali harus bersifat terbatas; dan
karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak abadi, tidak qadîmdan tercipta
dari yang tiada (creatio ex nihilo).
Konsep
al-Kindi tentang yang terbatas, tidak qadîmdan tidak abadi tersebut tidak hanya
berkaitan dengan wujud semesta melainkan juga menyangkut masalah waktu dan
gerak; dua hal yang dalam perspektif metafisika Aristoteles dianggap abadi.
Menurut al-Kindi, waktu tidak sama dengan gerak; justru waktu adalah bilangan
pengukur gerak. Bilangan sendiri ada dua: tersendiri dan berkesinambungan.
Waktu tidak termasuk bilangan tersendiri melainkan berkesinambungan karena
waktu merupakan jumlah dari bilangan yang dahulu dan berikutnya.[32]
Sekarang, jika waktu adalah qadîm, tanpa permulaan seperti yang dipahami
Aristoteles (384–322 SM), maka waktu berarti adalah tidak terbatas. Jika waktu
adalah tidak terbatas, maka berarti tidak ada istilah “waktu lalu” dan “waktu sekarang”,
karena hal ini mengindikasikan bahwa waktu telah memasuki alam aktualitas yang
terbatas; padahal, sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi
terbatas. Berdasarkan hal itu, maka kita tidak dapat membayangkan adanya waktu
yang tanpa permulaan, qadîm dan tidak terbatas; sebaliknya, waktu adalah dan
harus ada permulaan dan terbatas. Hal yang sama juga terjadi dengan gerak.
Kesimpulannya, jika waktu dan gerak adalah ada permulaan dan terbatas, maka ia
berarti tercipta, tercipta dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada (creation ex
nihilo).
Berdasarkan
hal itu, al-Kindi berarti mempunyai konsep sendiri yang tidak sama dengan
Aristoteles (384–322 SM)yang menyatakan bahwa semesta adalah terbatas dalam
ruang (materi) tetapi tidak terbatas dalam waktu dan gerak. Begitu pula,
al-Kindi tidak sesuai dengan Plato (428-347 SM) yang menyatakan bahwa semesta
adalah terbatas dalam waktu tetapi tidak terbatas dalam materi (ruang). Sebab,
bagi al-Kindi, ruang (materi), waktu dan gerak, ketiganya adalah sama-sama
terbatas dan tercipta. Meski demikian, al-Kindi berkesesuaian dengan Plato
dalam masalah hubungan antara gerak dan waktu. Menurut keduanya, waktu muncul
seiring bersama gerak dan perubahan, di mana ada gerak dan perubahan berarti di
situ ada waktu, begitu juga sebaliknya. Tuhan, karena tidak berubah, maka tidak
berkaitan dengan waktu, dan karena itu Dia tidak bermula (qadîm) dan abadi.[33]
Selanjutnya,
bagaimana bentuk dan susunan semesta yang terbatas ini? Menurut al-Kindi,
semesta tersusun secara geosentris, tidak heliosentris sebagaimana yang banyak
diyakini masyarakat sekarang. Konsep geosentris al-Kindi sendiri dibangun
berdasarkan atas paduan antara pemikiran Aristoteles (384–322 SM)dan Cladius
Ptolemy (90-168 M) dari Mesir, sehingga dikenal juga dengan sistem Ptolemaic.[34]
Geosentris
adalah sebuah konsep kosmologi yang menempatkan bumi sebagai pusat tata surya,
sedang heliosentris adalah pemikiran yang memposisikan matahari sebagai pusat
tata surya. Dalam sejarahnya, konsep geosentris telah muncul sejak Yunani kuno,
mulai Anaximander (610–546 SM), Phytagoras (570–495 SM) sampai Aristoteles (384
–322 SM), dan merupakan pemikiran
yang dominan dalam filsafat Yunani. Dalam pemikiran mereka, matahari, bulan,
bintang dan planet-planet lainnya, adalah bergerak mengelilingi bumi. Sementara
itu, konsep heliosentris pertama kali disampaikan oleh Aristarchus (310-230
SM), seorang astronom dari Samos, Yunani, diusulkan oleh Ibn Syathir (1304-1375
M), seorang astronom Muslim asal Syiria, dibangun oleh Nicolaus Copernicus
(1473-1543 M) dari Italia, dikembangkan oleh Johannes Kepler (1571-1630 M) dari
German dan didukung oleh Galileo Galilei (1564-1642 M) dari Italia.[35]
D. Dalil Adanya Tuhan
Al-Kindi
mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya Tuhan, baik filosofis
maupun teologis. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat. Sebagaimana
telah dijelaskan, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan
(creatio ex nihilo). Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti
ada yang mencipta, dan sang pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan. Ketika
Tuhan sebagai pencipta dan karya ciptaannya yang berupa semesta ini ada, maka
Dia berarti ada.[36]
Kedua,
berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab atas dirinya
sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada
sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah semesta.
Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya sendiri berarti ia
butuh sesuatu di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.[37]
Ketiga,
berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia).
Menurut Atiyeh(1923-2008 M), argumen ini didasarkan atas pemikirankaum Stoik,
sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang dibangun oleh Zeno (334-262 SM) pada
tahun 301 SM di Athena; juga pemikiran Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 M).
Menurut argumen ini, persis sebagaimana tubuh manusia yangbergerak dan
berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya sang pengatur yang cerdas
dan tidak kelihatan, yaitu jiwa, maka demikian juga dengan alam. Perjalanan
alam yang teratur, tertib dan selaras menunjukkan adanya sang pengatur yang
sangat cerdas dan tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Karena itu, ketika ditanyakan
kepada al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Tuhan, ia menjawab
bahwa persis seperti kita memahami adanya jiwa dengan memperhatikan munculnya
gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh, maka begitu pula dengan
Tuhan. Keberadaan-Nya dapat diketahui lewat efek-efek pengaturan-Nya yang bijak
sebagaimana yang terwujud dalam semesta.[38]
Meski
demikian, Atiyeh mengingatkan bahwa penggunaan analogi Stoik oleh al-Kindi
tersebut bukan berarti ia sepakat dengan pandangan pantheism kaum Stoik, “satu
ruh Ilahy dan imanensi Tuhan atas alam”. Al-Kindi adalah seorang pendukung yang
gigih atas paham transendensi dan kemaha-besaran Tuhan. Penerimaannya atas
analogi Stoik lebih bersifat dan terbatas pada aspek metodologis, bukan
metafisis.[39]
Keempat,
didasarkan atas argumen teleologis, yaitu dalil al-`inâyah. Dalil ini menyatakan
bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan ini tidak mungkin
terjadi secara kebetulan melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud
tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan
“pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan
yang menjadi sebab dari semua sebab”. Al-Kindi menulis, “Susunan alam dan
keteraturannya yang mengagumkan, di mana setiap bagian selaras dengan bagian lainnya,
beberapa bagian tunduk pada pengaturan bagian lainnya; juga pengaturannya yang
sempurna, di mana yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk senantiasa
terbinasakan, semua adalah petunjuk yang paling baik dan jelas tentang adanya
sistem pengaturan yang sangat cerdas, yang dengan demikian menunjukkan adanya
Sang Maha Pengatur yang sangat cerdas”.[40]
“Keteraturan,
ketertiban dan keselarasan alam raya ini adalah wujud dari pengaturan-Nya
yang bijak dan sempurna. Sungguh, kehidupan alam yang serba teratur dan bijak telah cukup (sebagai bukti
tentang ada-Nya) bagi mereka
yang mampu melihat dengan pikiran jernih”.[41]
Argumen
terakhir ini, oleh sebagian filosof, dianggap sebagai dalil paling efektif
untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga
digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M),[42]
sedang dalam tradisi filsafat Barat dipakai oleh Immanuel Kant (1724–1804M).
E. Sifat-Sifat Tuhan
Masalah
sifat-sifat Tuhan menjadi persoalan yang sangat krusial dalam diskusi teologi
saat itu. Paling tidak muncul tiga madzhab teologi yang berbeda dan bersitegang
karena persoalan ini. Pertama, musyabbihah, yang menyatakan bahwa sifat-sifat
Tuhan sama dengan sifat manusia, sehingga Dia mempunyai badan seperti manusia
dan bahkan mempunyai singgasana tempat Dia duduk. Kedua, Asy’ariyah, yang
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai esensi dan sifat-sifat tersendiri yang berbeda
dengan esensi-Nya. Maksudnya, Tuhan mempunyai sifat Maha Kuasa, Maha Pencipta,
Maha Pemurah dan seterusnya dan semua sifat-sifat tersebut berbeda denganDzat
atau esensi-Nya. Akan tetapi, meski sifat-sifat itu berbeda dengan esensi
Tuhan, namun sifat-sifat tersebut sama sekali juga tidak sama dengan
sifat-sifat yang ada pada makhluk. Sedemikian, sehingga adanya sifat-sifat yang
berbeda dengan esensi tersebut tidak merusak keesaan-Nya. Ketiga, Muktazilah,
yang menolak adanya sifat positif apapun pada Tuhan, dan menolak pembedaan
antara sifat dan esensi Tuhan, karena hal itu dinilai dapat meniadakan
keesaan-Nya. Karena itu, bagi Muktazilah, Tuhan adalah MahaPerkasa bukan dengan
sifat atau kekuatan yang lain di luar diri-Nya melainkan dengan kekuatan yang
merupakan esensi diri-Nya.[43]
Pemikiran
al-Kindi tentang sifat-sifat Tuhan tidak berbeda dengan konsep Muktazilah di atas.
Dalam karyanya yang terkenal, al-Falsafah al-Ulâ, al-Kindi membuat uraian dan
pembelaan yang mendalam tentang pandangannya soal sifat-sifat Tuhan ini. Ada
dua sifat Tuhan yang penting yang diuraikan, yaitu: sifat Maha Esa (wahdaniyah)
dan sifat ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-.hawâdits).
Tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya lewat dua cara. Pertama, dengan cara
membedakan antara esa mutlak dengan esa metaforis. Esa mutlak adalah keesaan
esensial yang tidak terbagi, sedang esa metaforis adalah keesaan yang ada pada
objek-objek terindera, yang memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu,
sehingga keesaannya tidak bersifat mutlak melainkan berganda. Menurut al-Kindi,
keesaan Tuhan juga tidak sama dan tidak menunjuk pada bilangan, satu Tuhan
misalnya, karena bilangan adalah konsep kuantitas sedang kuantitas-kuantitas
sendiri mempunyai atribut-atribut lain yang tidak terpisahkan. Artinya, jika
kita menyatakan bahwa Tuhan adalah satu, maka bilangan satu tersebut menunjuk
pada kuantitas material dan dapat dibagi, dan itu menyiratkan bahwa keesaan-Nya
terbagi dalam beberapa bagian. Jika demikian, maka dalam bagian-bagian Tuhan
yang terangkum dalam kesatuan-Nya pasti terkandung sesuatu yang sama yang
menyatukannya sekaligus sesuatu yang tidak sama yang membedakan antara yangsatu
dengan lainnya. Padahal, sesuatu yang dapat dibandingkan dengan kesamaan dan
ketidaksamaan adalah sifat-sifat benda; suatu yang tidak terbayangkan terjadi
pada Tuhan.[44]
Kedua,
menggunakan sebuah argumen yang oleh Musa ibn Maimun atau Maimonides (1135-1204
M), seorang filosof dan Rabbi Yahudi asal Kordoba, Spanyol, murid Ibn Rusyd
(1126-1198 M), digambarkan sebagai “metode yang benar untuk membuktikan
keniscayaan dan keesaan Tuhan”.[45]
Argumen tersebut adalah sebagai berikut:
“Seandainya
ada Tuhan lebih dari satu, maka mereka pasti majemuk dan berganda. Sebab,
mereka pasti mempunyai satu sifat yang umum sebagai Sebab Pertama dan sifat
pribadi yang membedakan antara satu dengan yang lain. Ini menunjukkan bahwa masing-masing
Tuhan mempunyai lebih dari satu atribut: satu atribut yang dipakai bersama dan
atribut lainnya yang membedakan antara yang satu dengan lainnya. Artinya,
mereka majemuk. Jika majemuk, mereka butuh pendahulu yang menyiratkan bahwa
Tuhan sebagai penyebab itu butuh penyebab lainnya. Penyebab tersebut bisa satu
atau jamak. Jika satu maka ia adalah Penyebab Pertama satu-satunya; Jika jamak
maka penyebab-penyebab tersebut juga butuh penyebab lainnya yang juga jamak.
Begitu seterusnya sampai pada penyebab penyebab lainnya yang tidak terbatas,
danitu tidak mungkin. Karena itu, Penyebab Pertama
tersebut pasti satu adanya, Esa, tidak jamak dan berbeda
dengan lainnya”.[46]
Argument
tersebut juga digunakan oleh al-Kindi untuk menolak ajaran Trinitas Kristen.
Yang menarik, penolakan al-Kindi atas konsep trinitas tidak didasarkan atas
ajaran wahyu dan teologi Islam melainkan murni filsafat dengan asumsi bahwa
pemikiran filosofis lebih bersifat universal, dapat diterima oleh orang Kristen
maupun Islam. Penolakan tersebut didasarkan atas tiga argument. Pertama, bahwa
tiga unsur Tuhan tidak mungkin mempunyai esensi yang sama. Pada satu sisi,
masing-masing dari tiga persona Trinitasmemang identik dengan yang lain, tetapi
pada waktu yang sama masing-masing jelas memiliki sifat individu yang
membedakannya dari lainnya. Artinya, masing-masing dari tiga persona Trinitas
“tersusun” atas esensi umum yang berlaku pada semuanya dan esensi khusus yang
membedakan antara satu dengan lainnya. Padahal, sesuatu yang tersusun tidaklah
abadi, sehingga ketika dikatakan bahwa Tuhan Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah
abadi, maka itu adalah sesuatu yang bertentangan dan tidak masuk akal.
Kedua,
bahwa ajaran Trinitas tidak sesuai dengan konsep kategori Porphyrios (234-305
M), filosof Neoplatonis asal Tyre, Yunani. Menurut Porphyry, setiap wujud tidak
lepas dari salah satu lima kategori: genus, species, diferensia, sifat dan
kejadian. Berdasarkan atas kategori apapun seseorang mempertahankan trinitas,
hasilnya akan selalu menyatakan bahwa Tuhan yang satu adalah majemuk dan karena
itu tidak abadi. Keabadian tiga persona yang berbeda dengan satu esensi adalah
tidak dapat dijelaskan, tidak masuk akal.
Ketiga,
konsep trinitas yang menyatakan bahwa tiga menjadi satu dan satu menjadi tiga,
tidak dapat diterima nalar. Konsep tersebut menunjukkan bahwa keesaan-Nya
mengacu pada bilangan, baik umum maupun khusus. Jika menunjuk pada bilangan
secara umum, Tuhan berarti tersusun atas tiga satuan tinggal dan karena itu
berarti tidak dapat disebut sebagai Yang Esa. Jika menunjuk pada bilangan
secara khusus yang berarti bahwa Yang Tiga itu adalah individu-induvidu sedang
Yang Satu adalah species, maka species yang dimaksud berarti terdiri dan
tersusun atas individu-individu; begitu juga dengan genus, dan genus dan
species yang dimaksud dalam trinitas Kristen ini tidak sama dengan yang
dimaksud oleh Porphyry. Karena itu, betapapun gigihnya orang-orang Kristen
membangun dan membenarkan ajaran trinitas, mereka tetap jatuh dalam kesimpulan
yang tidak masuk akal.[47]
Sifat
Tuhan yang lain yang ditekankan al-Kindi adalah ketidaksamaan-Nya dengan
makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits). Menurutnya, Tuhan tidak dapat dijelaskan
dengan negasi dan bahwa esensi-Nya juga tidak dapat diketahui. Kita hanya dapat
mengetahui apa yang bukan Dia tetapi sama sekali bukan tentang Dia. Dalam
Rasâilal-Kindi menulis,
“Yang
Esa bukanlah yang dapat dipahami, bukan unsure, bukan genus, bukan species,
bukan persona, bukan deferensia, bukan sifat, bukan kejadian, bukan gerakan,
bukan jiwa, bukan pikiran, bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan jumlah, bukan
particular, bukan hubungan, melainkan sesuatu Yang Mutlak yang tidak terpengaruh
oleh kebergandaan. Dia tidak majemuk, tidak jamak, bukan sesuatu yang dapat
dimasukkan dalam konsep-konsep di atas, bukan yang namanya dapat dianggap
berasal dari atribut-atribut manapun......Karena itu, Yang Esa tidak
terkatakan, tidak berbentuk, tidak berukuran dan tidak ada hubungan. Dia tidak
dapat digambarkan oleh kata-kata. Dia tanpa genus atau diferensia atau
kepribadian atau sifat atau kejadian atau gerakan. Dia tidak dapat dilukiskan
oleh sifat apapun kecuali keesaan. Dia adalah murni dan mutlak; saya tidak
mengartikan apapun kecuali keesaan mutlak, sehingga apapun bentuk keesaan
selain-Nya adalah jamak.... Yang Esa adalah satu esensi, tidak pernah berganda,
tidak pernah dapat terbagi dengan cara apapun atau mengenai apapun. Dia bukan
waktu atau tempat. Dia juga bukan badan atau predikat atau keseluruhan atau
bagian atau substansi atau kejadian”.[48]
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, Tuhan dalam pandangan al-Kindi berarti adalah sesusatu
yang tidak terjangkau, tidak terbayangkan dan tidak tergambarkan oleh
kata-kata. Dalam perspektif filsafat, konsep Tuhan al-Kindi tidak memiliki atau
tidak berkaitan dengan karakteristik-karakterisktik Aristoteles (384–322 SM),
Philo (20 SM-50 M) maupun Plotinus (204–270 M). Satu-satunya sifat Tuhan yang
ditampilkan al-Kindi adalah Esa, tunggal dan tidak terbagi (wahdaniyah) di
samping ketidaksamaan-Nya dengan makhluk (mukhâlafah li al-hawâdits). Meski
demikian, menurut Atiyah (1923-2008 M), hal itu bukan berarti al-Kindi tidak
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang lain. Dalam beberapa kesempatan, al-Kindi
menyebut-Nya sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Sifat
kasih sayang-Nya yang tak terhingga meresap dan meliputi seluruh semesta dan
menopangnya sebagaimana jiwa menopang raga.[49]
Meski
demikian, al-Kindi tidak menjelaskan bagaimana imanensi dan transendensi Tuhan
atas alam (tanzîh). Ia tidak mengakui pantheisme sebagaimana yang terjadi pada
para pemikir neoplatonis muslim sesudahnya, seperti al-Farabi (870-950 M) dan
Ibn Sina (980-1037 M), juga tidak setuju dengan teori antropomorfisme seperti
kaum musyabbihah, tetapi tidak menjelaskan bagaimana proses Tuhan berkarya dan
posisinya dengan alam. Inilah salah satu problem yang ditinggalkan al-Kindi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa
al-Kindi hidup pada masa filsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran
Islam, tepatnya masa transisi pemikiran teologi pada filsafat. Dalam kondisi
ini, al-Kindi jelas menghadapi banyak kesulitan dan persoalan, baik internal
gagasan maupun eksternal masyarakat, dan pikirannya banyak dicurahkan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Namun, hal itu bukan berarti al-Kindi
tidak mempunyai pemikiran filsafatnya sendiri yang orisinal sehingga tidak
layak disebut seorang filosof, atau bahkan hanya sebagai seorang penterjemah
seperti dituduhkan beberapa pihak. Uraian di atas, meski singkat dan tidak
utuh, menunjukkan bahwa al-Kindi adalah bena-benar seorang filosof yang
orisinal.
2. Al-Kindi
(801-873 M) secara kronologis dapat dianggap sebagai tokoh pertama yang
berusaha menyelaraskan agama dan filsafat lewat berbagai cara, dan upayanya
tersebut ternyata kemudian diikuti oleh banyak filosof sesudahnya, seperti
al-Farabi (870-950 M), Abu Sulaiman al-Sijistani (932-1000 M), Ibn Miskawaih
(932-1030 M), Ibn Sina (980-1037M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), tentu dengan
caranya masing-masing sesuai dengan konteks dan aliran filsafat yang dianutnya.
3. Konsep
al-Kindi tentang proses penciptaan semesta yang tercipta dari tiada(creatio ex
nihilo) dengan berdasarkan atas nalar filsafat, bukan teologis sebagaimana
dalam tradisi pemikiran Islam, adalah gagasan orisinal al-Kindi yang tidak
terdapat pada para pemikir muslim yang lain. Konsep penciptaan semesta para
pemikiran muslim filosof muslim secara umum dapat dibagi dua: (1) bersifat
creatio ex nihilodengan dasar nalar teologis, (2) bersifat creatio ex
materiadengan dasar nalar filsafat, baik lewat emanasi seperti al-Farabi atau
gerakan seperti Ibn Rusyd. Al-Kindi menggabungkan kedua konsep tersebut.
4. Secara
umum tampak al-Kindi berusaha menjelaskan persoalan keagamaan berdasarkan
logika dan perspektif filsafat, bukan dengan dasar wahyu atau naqli, bahkan
kebenaran logika dan filsafat juga digunakan untuk membenarkan dan
menjustifikasi informasi wahyu. Di sinilah kelebihan al-Kindi. Meski demikian,
pemikiran al-Kindi bukan tanpa masalah. Persoalan proses bagaimana Tuhan
berkarya dan hubungan-Nya dengan semesta, apakah Tuhan bersifat imanen
(tasybîh) atau transendens (tanzîh) atas semesta, adalah satu persoalan yang
ditinggalkan oleh al-Kindi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahwani,
Fuad el-, “Al-Kindi” dalam MM. Syarif, Para
Filosof Muslim, terj. A Muslim, (Bandung, Mizan, 1996)
Atiyeh,
George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,
terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung, Pustaka, 1983)
Ibn
Rusyd, “Fashl al-Maqâl” dalam Falsafah
Ibn Rusyd, (Beirut, Dar al-Afaq, 1978)
Kindi,
“al-Falsafah al-Ulâ”, dalam Abd Hadi Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al- Falsafiyah,(Mesir,
al-I`timad, 1950)
Kindi,
“Al-Ibânah an al-Illah al-Fâ`ilah al-Qarîbah li al-Kaun wa al-Fasâd” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah,(Mesir,
al-I`timad, 1950)
Kindi,
“Al-Ibânah an Sujûd al-Jirm al-Aqshâ wa Thâ`atuh lillah” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah,(Mesir,
al-I`timad, 1950)
Kindi,
“Fî Hudûd al-Asyyâ’ wa Rusûmuhâ” dalam Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah,(Mesir,
al-I`timad, 1950)
Kindi,
“Fî Kammiyah Kutub Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah”
dalam Abu Riddah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah,(Mesir,
al-I`timad, 1950)
Kindi,
“Fî Wahdâniyah Allah wa Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil al-Kindî al-Falsafiyah,(Mesir, al-I`timad, 1950)
Sahrastani,
al-Milal wa al-Nihal, (Beirut, Dar
al-Kutub, 1971)
Soleh,
A Khudori, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi
al-Farabi, (Malang, UIN Press, 2010)
Soleh,
A Khudori, Titik Temu Agama dan Filsafat
Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd,
(Malang, UIN Press, 20
KBBI QTmedia
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Islam
[1] KBBI QTmedia
[2] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Islam
[24]
Al-Kindi, “Fî Kammiyah Kutub
Aristhûthâlîs wa Mâ Yahtaj Ilaih fî Tahshîl al-Falsafah” dalam Abu Riddah (ed),
Rasâil al-Kindi, 372.
[28]
Ibid, 25; A Khudori Soleh, Epistemologi
Ibn Rusyd, (Malang: UIN Press, 2011). Pemikiran filsafat Stoik mengambil
dari seluruh filsafat Yunani dan kemudian (ajaran Kristen) Romawi. Sekolah
filsafat ini di tutup tahun 529 M atas perintah Kaisar Justinian I (483–565 M),
karena dianggap mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan iman Kristen.
[46]
Al-Kindi, “Fî Wahdâniyah Allah wa
Tanâhi Jirm al-Alam” dalam Abu Ridah (ed), Rasâil
al-Kindi, 207.
[48]
Al-Kindi, Falsafah al-Ula, 160. Menurut Atiyeh, konsep al-Kindi ini mirip
dengan pemikiran teologi Jahm ibn Shafwan (w. 745 M), seorang tokoh Muktazilah.
Menurutnya, Tuhan tidak berkaitan dengan tinggi atau rendah, tidak terdiri atas
bagian-bagian, tidak kiri atau kanan, berat atau ringan. Jika kau berpikir
bahwa Dia adalah sesuatu yang kau ketahui, maka Dia adalah lain dari itu.
Atiyeh, al-Kindi, 89.
Komentar
Posting Komentar